LAPORAN 10 KASUS PELANGGARAN
KODE ETIK JURNALISTIK
Oleh :
Akbar
XII IPS 2
Belinyu, Bangka Belitung
Tahun
2014/2015
Kasus
pertama
Di lakukan
oleh Dewan Pers (Kasus Penyebaran Foto Seronok Novi Amelia)
Dewan Pers
menganggap dugaan keterlibatan rekan media berinisial WO dalam penyebaran foto
seronok Novi Amelia merupakan sebuah hal yang gawat. dengan Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pengedar foto Novi itu
bukan dimuat di media cetak maupun elektronik . Namun melalui BBM
(Blackberry Messanger) atau jejaring sosial, ini menjadi gawat karena dapat
terjerat Undang-Undang ITE. UU ITE yang dimaksud adalah Pasal 27 ayat 1 dan ayat 3 yang bisa diancam hukuman hingga enam tahun
penjara.
Kasus kedua
Kasus
‘Charity Settingan’, KPI Temukan Rekayasa & tvOne Harus MintaMaaf
Kasus
‘Charity Settingan’ yang tayang di tvOne selesai diperiksa Komisi Penyiaran
Indonesia
(KPI). Pihak tvOne dinilai bersalah dan harus meminta maaf kepada
masyarakat
Indonesia.
PI Pusat berkesimpulan bahwa pelanggaran yang dilakukan adalah stasiun tvOne
mengetahui
adanya adegan rekayasa dalam penayangan pencarian dana untuk acara sosial.
Program juga
melakukan pelanggaran atas pengabaian hak narasumber (Valencia Mieke
Randa alias
Silly) untuk menolak berpartisipasi dalam sebuah program siaran,” jelas Ketua
KPI, Dadang
Rahmat Hidayat, dalam keputusannya yang diperoleh. Keputusan itu
dikeluarkan
KPI hari ini berdasarkan surat bernomor774/K/KPI/12/11. Surat KPI ditujukan
kepada
Direktur Utama tvOne, ArdiansyahBakrie. KPI menyebutkan sanksi administratif
bagi tvOne.
Jenis pelanggaran ini dikategorikan sebagai pelanggaran atas prinsip
prinsip jurnalistik
dan hak narasumber yang disiarkan oleh lembaga penyiaran. KPI
Pusatmemutuskan
bahwa tindakan menayangkan program tersebut telah melanggarPedoman
Perilaku
Penyiaran Komisi Penyiaran Indonesia tahun 2009pasal 18 ayat (1)dan pasal 39
ayat
(1)
serta Standar Program Siaran pasal 42 ayat (1)
huruf b.Berdasarkan pelanggaran
(2)
pelanggaran di atas, kami memberikan sanksi administratif teguran
tertulis,
penghentian sementara mata acara
yang bermasalah;
KPI Pusat
berpendapat bahwa pelanggaran yang dilakukan program telah menimbulkan polemik
dalam masyarakat yang ditandai dengan adanya pengaduan masyarakat dan juga
telah menimbulkan polemik di media massa dan media sosial.Pelanggaran atas
program ini dapat menimbulkan ketidak percayaan publik kepada program siaran
jurnalistik dan lembaga penyiaran pada umumnya.
(1).
Barang siapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu
kepada penguasa, baik secara tertulis
maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama
baiknya terserang, diancam karena melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana
penjara paling lama empat tahun.
(2) Pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1-3 dapat dijatuhkan. (Pasal 317)
(2) Pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1-3 dapat dijatuhkan. (Pasal 317)
Kasus
ketiga
Beredar Selebaran Pink Pembusukan Prabowo
Kamis,
19 Juni 2014, 12:16 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --
Selebaran gelap memojokkan capres nomor urut 1, Prabowo Subianto, menyebar di
sejumlah tempat. Kota Depok, Karawang, Purwakarta dan Lenteng Agung, Jakarta,
menjadi tempat penyebaran selebaran tersebut.
Selebaran itu memuat tulisan yang
berisi artikel yang menyudutkan calon presiden Prabowo Subianto. Tim kuasa
hukum Prabowo-Hatta, Habiburokhman, menilai, keberadaan selebaran tersebut
merugikan pihaknya. Apa yang dituliskan di dalam selebaran itu tidak terbukti
kebenarannya.
Dia mengaku miris selebaran yang
dilakukan oleh pihak tak bertanggung jawab itu dikonsumsi masyarakat. Pasalnya,
selebaran tersebut disebar di sejumlah rumah ibadah di empat wilayah itu.
“Selebaran itu memfitnah Pak Prabowo adalah dalang penculikan aktivis. Nah
hal-hal yang dituduhkan itu tindak pidana yang sangat serius. Pak Prabowo
faktanya sama sekali tidak terbukti pernah terlibat,” kata Habiburokhman, saat
dihubungi, Rabu (18/6).
Pihaknya telah melaporkan hal ini ke
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), sepekan lalu. Sayangnya, Bawaslu dinilainya
belum melakukan apa - apa. Bawaslu belum menindaklanjuti laporan yang
dibuatnya. Padahal, Bawaslu hanya memiliki waktu lima hari untuk menyelesaikan
setiap laporan yang diajukan.
Pada bagian depan selebaran terdapat
tulisan pertarungan seru dan menegangkan, pemilihan presiden Republik Indonesia
9 Juli 2014. Foto Joko Widodo dan Prabowo dipajang. Pada bagian bawah terdapat
gambar peta Indonesia dan tulisan yang mengimbau agar masyarakat tidak golput.
Sementara itu, di bagian dalam selebaran terdapat tulisan yang menggambarkan
perbandingan antara Jokowi dan Prabowo.
Pada sisi Jokowi ditampilkan
keberhasilan dirinya selama menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, seperti
penertiban Pasar Tanah Abang, pembuatan Waduk Ria Rio dan Waduk Pluit, Kartu
Jakarta Sehat dan Kartu Jakarta Pintar, serta rencana pembangunan monorel.
Sementara pada sisi Prabowo
disebutkan bahwa ia terbukti bertanggung jawab atas penculikan aktivis
pro-demokrasi 1997-1998 sehingga dipecat dari TNI oleh Panglima ABRI Jenderal
TNI Wiranto atas rekomendasi Dewan Kehormatan Perwira (DKP). Selain itu,
Prabowo juga disebutkan berkoalisi dengan platform berbeda dan mengizinkan
organisasi ekstrem dibuka di seluruh Indonesia.
Dalam hal ini dapat disimpulkan
kasuss ini dapat dijatuhkan hukuman yang dimana Penghinaan terhadap penguasa atau badan umum (XI) : Barang siapa dengan
sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau
badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama
satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah. (pasal 207)
Kasus keempat
Kasus
wawancara fiktif terjadi di Surabaya.
Seorang
wartawan harian di Surabaya menurunkan berita hasil wawancaranya dengan seorang
isteri Nurdin M Top. Untuk meyakinkan kepada publiknya, sang wartawan sampai
mendeskripsikan bagaimana wawancara itu terjadi. Karena berasal dari sumber
yang katanya terpercaya, hasil wawancara tersebut tentu saja menjadi perhatian
masyarakat luas. Tetapi, belakangan terungkap, ternyata wawancara tersebut
palsu alias fiktif karena tidak pernah dilakukan sama sekali. Isteri Nurdin M
Top kala itu sedang sakit tenggorokkan sehingga untuk berbicara saja sulit,
apalagi memberikan keterangan panjang lebar seperti laporan wawancara tersebut.
Wartawan dari harian ini memang tidak pernah bersua dengan isteri orang yang
disangka teroris itu dan tidak pernah ada wawancara sama sekali.
Wartawan
dalam kasus di atas melanggar Kode Etik Jurnalistik Pasal 2 dan Pasal 4. Pasal
2 bernunyi: Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam
melaksanakan tugas jurnalistik. Pasal 4 berbunyi: Wartawan Indonesia tidak
membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Wartawan tersebut tidak
menggunakan cara yang professional dalam menjalankan tugasnya. Ia tidak
menyebarkan berita yang faktual dan tidak menggunakan narasumber yang jelas,
bahkan narasumber yang digunakan dalah narasumber fiktif. Wawancara dan berita
yang dipublikasikannya merupakan kebohongan. Tentu ini merugikan konsumen media.
Pembaca mengkonsumsi media untuk memperoleh kebenaran, bukan kebohongan.
Kredibilitas harian tempat wartawan tersebut bekerja juga sudah tentu menjadi
diragukan.
dalam hal ini dapat dijatuhkan
sanksi yang dimana yerdapat dalam
Pasal 57
Dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah) untuk penyiaran televisi, setiap orang yang:
Melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 ayat (5); yang isinya adalah
5. Isi siaran dilarang:
5. Isi siaran dilarang:
a. Bersifat
fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;
b. Menonjolkan unsure kekerasan, cabul,
perjudian, penyalahgunaan
narkotika dan obat
terlarang; atau
c. Mempertentangkan
suku, agama, ras, dan antargolongan.
Kasus kelima
Kasus Luna Maya
Kasus Luna
maya dalam penyampaian berita tidak berimbang. Media terus menerus memojokkan
Luna Maya. Seakan-akan dia yang paling bersalah dalam kasus ini. Luna maya
disalahkan karena menulis kata-kata kasar yang menjelekkan wartawan
Infotainment di account twitternya. Media menggiring opini public bahwa Luna
maya yang bersalah. Pemberitaan tidak netral dari kedua belah pihak antara Luna
maya dan PWI. Dalam kasus ini berat sebelah. Seharusnya sesuai kode etik
jurnalistik semua pihak berhak mendapatkan kesempatan yang sama. Media ,
khususnya televisi tampak tidak berimbang dalam membahas masalah ini, terlebih
lagi pihak infotainment, mereka hanya membesar-besarkan sikap dan perkataan
Luna Maya tanpa membahas latar-belakang dan alasan yang membuat Luna terpancing,
yaitu perilaku dan arogansi para wartawan infotainment sendiri.
Sebagai organisasi profesi, dihimbau kepada jurnalis
untuk mengacu kepada Kode Etik Jurnalistik seperti diamanatkan oleh Pasal 7
Ayat 2 Undang-Undang Pers. Sebagai media yang hidup di ranah publik, para
jurnalis diharapkan senatiasa tetap menjaga independensi, dan bekerja
menggunakan standar profesionalisme yang berlaku di dunia jurnalistik, antara
lain dengan menyajikan berita secara berimbang. Dalam rangka melayani hak
masyarakat untuk tahu (rights to know), tanggungjawab profesional seorang
wartawan bukan hanya kepada pemilik, tetapi terutama sekali adalah kepada
publik. Dan melanggar kode etik jurnalistik yaitu Pasal 1 Wartawan
Indonesia bersikap independensi , menghasilkan berita yang akurat, berimbang,
dan tidak beritikan buruk Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan
yang setara. Yang dimana dalam kasus ini
Wartawan yang melakukan penghinaan nama baik atau fitnah dapat dikenai snaksi
pasal 310 KUHP dengan hukuman 9 bulan sampai 16 bulan penjara
Kasus keenam
Saham
PT Krakatau Steel; Dewan Pers: Ada Pelanggaran Kode Etik
Dewan Pers menilai, terjadi pelanggaran kode etik dalam kasus dugaan permintaan
hak istimewa untuk membeli saham penawaran umum perdana PT Krakatau Steel oleh
wartawan. Pelanggaran itu berupa penyalahgunaan profesi serta pemanfaatan
jaringan yang dimiliki sejumlah wartawan peliput di Bursa Efek Indonesia.
”Tindakan itu menimbulkan konflik kepentingan karena sebagai wartawan yang
meliput kegiatan di Bursa Efek Indonesia juga berusaha terlibat dalam proses
jual beli saham untuk kepentingan pribadi. Ini bertentangan dengan Pasal 6 Kode
Etik Jurnalistik,” ujar Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika
Pers Dewan Pers Agus Sudibyo di Jakarta, Rabu (1/12).
Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik menyebutkan bahwa wartawan Indonesia tidak
menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap dan jika seorang wartawan
menerima suap akan dikenakan sanksi
penjara . Dalam situs Dewan Pers, tafsiran terhadap pasal ini, (a)
menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan
pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut
menjadi pengetahuan umum; (b) suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang,
benda, atau fasilitas dari pihak lain yang memengaruhi independensi.
Agus menyatakan, Dewan Pers menghargai sikap profesional dan niat baik
detik.com, Kompas, MetroTV, dan Seputar Indonesia dalam proses penyelesaian
kasus ini. Dewan Pers mengimbau segenap pers Indonesia menegakkan kode etik
jurnalistik dan profesionalisme media.
Harian Kompas pun menghormati putusan Dewan Pers yang menyatakan seorang
wartawan Kompas berinisial RN terbukti melanggar kode etik jurnalistik. Pada
hari yang sama, harian Kompas telah menindaklanjuti putusan Dewan Pers itu
dengan memberhentikan wartawannya itu sebagai wartawan Kompas.
”Manajemen harian Kompas pun memberhentikan yang bersangkutan sebagai wartawan
Kompas. Pemberhentian berlaku sejak diterbitkannya Keputusan Dewan Pers,” kata
Redaktur Pelaksana Harian Kompas Budiman Tanuredjo.
Dalam keputusannya, Dewan Pers sejauh ini belum menemukan bukti kuat adanya
praktik pemerasan, yang dilakukan wartawan, terkait dengan kasus pemberitaan
penawaran umum perdana saham PT Krakatau Steel. Keputusan ini dibuat Dewan Pers
setelah melakukan pemeriksaan silang dan klarifikasi dengan pihak-pihak
terkait.
Kasus
ketujuh
Sumber Imajiner
Sumber berita dalam liputan pers harus jelas dan tidak boleh fiktif. Satu harian di Medan melaporkan bahwa dalam suatu kasus dugaan korupsi di Partai Golkar Sumatera Utara, Kepolisian Daerah Sumut telah mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3). Menurut harian ini, sumber berita adalah Komisaris Besar A. Nainggolan dari Hubungan Masyarakat Polda Sumut yang diumumkan dalam sebuah konferensi pers. Ternyata pertemuan itu tidak pernah ada. Begitu pula petugas humas yang dimaksud itu juga tidak pernah mengeluarkan pernyataan seperti itu. Dengan kata lain, sumber beritanya fiktif.
Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik yang dilakukan oleh wartawan harian ini karena telah membuat berita dengan sumber imajiner alias tidak ada atau fiktif.sehingga wartawan atau pers yang menyebarkan berita bohong dikenakan sanksi pidana maksimal 500 juta rupiah
Sumber berita dalam liputan pers harus jelas dan tidak boleh fiktif. Satu harian di Medan melaporkan bahwa dalam suatu kasus dugaan korupsi di Partai Golkar Sumatera Utara, Kepolisian Daerah Sumut telah mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3). Menurut harian ini, sumber berita adalah Komisaris Besar A. Nainggolan dari Hubungan Masyarakat Polda Sumut yang diumumkan dalam sebuah konferensi pers. Ternyata pertemuan itu tidak pernah ada. Begitu pula petugas humas yang dimaksud itu juga tidak pernah mengeluarkan pernyataan seperti itu. Dengan kata lain, sumber beritanya fiktif.
Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik yang dilakukan oleh wartawan harian ini karena telah membuat berita dengan sumber imajiner alias tidak ada atau fiktif.sehingga wartawan atau pers yang menyebarkan berita bohong dikenakan sanksi pidana maksimal 500 juta rupiah
Kasus
kedelapan
Menyiarkan Gambar Ilustrasi Sembarangan
Pemasangan foto atau penyiaran gambar ilustrasi dalam pers harus memperhatikan relevansi sosial serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Pemasangan foto atau penyiaran gambar illustrasi yang sembarangan dapat diterima dengan makna yang jauh berlainan, dan karena itu dapat menjadi pelanggaran terhadap Kode Etik jurnalistik.
Satu majalah membuat berita tentang banyaknya remaja putri yang menjadi wanita panggilan atau menjajakan seks bebas. Pemuatan berita tersebut disertai satu foto ilustrasi yang menggambarkan aktivitas sekelompok remaja puteri di suatu pusat perbelanjaan. Para remaja puteri yang ada dalam foto ilustrasi itu sama sekali bukan pelaku yang menjadi bahan laporan dan tidak ada kaitannya dengan pelaku. Dalam caption atau teks gambar diterangkan, "Para remaja puteri di sebuah pusat perbelanjaan."
Orang tua remaja puteri yang ada dalam foto itu langsung memprotes keras pemuatan foto anaknya di majalah tersebut. Dengan adanya foto itu seakan-akan kelompok remaja puteri penganut seks bebas yang diceritakan dalam berita itu termasuk anaknya. Padahal, tidak benar sama sekali. Redaksi majalah itu pun mengakui bahwa foto itu tidak dimaksudkan sebagai pelaku dalam laporan ini, melainkan hanya sebagai ilustrasi.
Pemuatan foto semacam ini melanggar Kode Etik Jurnalistik karena menyiarkan berita yang menyesatkan. Ilustrasi foto yang dimuat itu seakan-akan menunjukkan atau merujuk kepada tulisan bahwa itulah para remaja puteri yang "menjual diri" atau melakukan seks bebas.
Kasus serupa ini jugs terjadi pada satu stasiun televisi di Jakarta. Ketika melakukan penyiaran laporan investigatif tentang kawin kontrak antara gadis-gadis desa Indonesia dengan warga negara asing, khususnya dengan warga dari Timur Tengah, stasiun itu menyiarkan upacara perkawinan di daerah tersebut. Padahal, ternyata peristiwa itu adalah upacara perkawinan yang sebenarnya, bukan upacara kawin kontrak sebagaimana yang dimaksud oleh stasiun televisi tersebut.
Penyiaran berita suatu peristiwa tanpa dicek dahulu kebenarannya merupakan pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik karena mungkin tidak akurat, tidak melakukan pengecekan terhadap sumber informasi, dan cenderung menjadi fitnah. Setelah mengetahui kesalahannya, stasiun televisi itu segera meralat dan meminta maaf atas kesalahannya. Akibat perbuatanya wartawan ini dapat dikenakan sanksi pasal 310 KUHP atas penghinaan nama baik atau fitnah dengan hukuman 9 sampai 16 bulan penjara.
Pemasangan foto atau penyiaran gambar ilustrasi dalam pers harus memperhatikan relevansi sosial serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Pemasangan foto atau penyiaran gambar illustrasi yang sembarangan dapat diterima dengan makna yang jauh berlainan, dan karena itu dapat menjadi pelanggaran terhadap Kode Etik jurnalistik.
Satu majalah membuat berita tentang banyaknya remaja putri yang menjadi wanita panggilan atau menjajakan seks bebas. Pemuatan berita tersebut disertai satu foto ilustrasi yang menggambarkan aktivitas sekelompok remaja puteri di suatu pusat perbelanjaan. Para remaja puteri yang ada dalam foto ilustrasi itu sama sekali bukan pelaku yang menjadi bahan laporan dan tidak ada kaitannya dengan pelaku. Dalam caption atau teks gambar diterangkan, "Para remaja puteri di sebuah pusat perbelanjaan."
Orang tua remaja puteri yang ada dalam foto itu langsung memprotes keras pemuatan foto anaknya di majalah tersebut. Dengan adanya foto itu seakan-akan kelompok remaja puteri penganut seks bebas yang diceritakan dalam berita itu termasuk anaknya. Padahal, tidak benar sama sekali. Redaksi majalah itu pun mengakui bahwa foto itu tidak dimaksudkan sebagai pelaku dalam laporan ini, melainkan hanya sebagai ilustrasi.
Pemuatan foto semacam ini melanggar Kode Etik Jurnalistik karena menyiarkan berita yang menyesatkan. Ilustrasi foto yang dimuat itu seakan-akan menunjukkan atau merujuk kepada tulisan bahwa itulah para remaja puteri yang "menjual diri" atau melakukan seks bebas.
Kasus serupa ini jugs terjadi pada satu stasiun televisi di Jakarta. Ketika melakukan penyiaran laporan investigatif tentang kawin kontrak antara gadis-gadis desa Indonesia dengan warga negara asing, khususnya dengan warga dari Timur Tengah, stasiun itu menyiarkan upacara perkawinan di daerah tersebut. Padahal, ternyata peristiwa itu adalah upacara perkawinan yang sebenarnya, bukan upacara kawin kontrak sebagaimana yang dimaksud oleh stasiun televisi tersebut.
Penyiaran berita suatu peristiwa tanpa dicek dahulu kebenarannya merupakan pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik karena mungkin tidak akurat, tidak melakukan pengecekan terhadap sumber informasi, dan cenderung menjadi fitnah. Setelah mengetahui kesalahannya, stasiun televisi itu segera meralat dan meminta maaf atas kesalahannya. Akibat perbuatanya wartawan ini dapat dikenakan sanksi pasal 310 KUHP atas penghinaan nama baik atau fitnah dengan hukuman 9 sampai 16 bulan penjara.
Kasus
kesembilan
Tidak Memperhatikan Kredibilitas Narasumber
Berita ini tidak main-main. Judulnya: "Dua Jenderal Berebut Seorang Janda." Adapun yang dimaksud dengan dua jenderal pun tidak tanggung-tanggung, yaitu dua tokoh militer Indonesia: Try Sutrisno, mantan panglima TNI dan juga mantan wakil presiden, serta Edy Sudrajat yang juga mantan panglima TNI. Tetapi, berita ini merupakan contoh bagaimana pers sering kurang memperhatikan kredibilitas narasumber.
Kisahnya bermula dari seorang wartawan di satu harian ibu kota. Suatu hari sang wartawan berjumpa dengan Nani, seorang pramuria di Bar King di Jakarta. Berceritalah Nani dengan bangganya bahwa ia diperebutkan oleh dua jenderal sekaligus, masing-masing Try Sutrisno dan Edy Sudrajat. Berita ini semula sempat diturunkan di harian tempat wartawan itu bekerja. Tetapi, karena pertimbangan jurnalistik, terbitan pers itu menolak menyiarkannya.
Sesudah masa Reformasi, sang wartawan menjadi pemimpin redaksi dan sekaligus pemimpin umum satu tabloid. Ia merasa bahwa kisah ini akurat karena didengarnya langsung dari mulut seorang pramuria. Ia mengaku "ingin membela orang tertindas dan demi kemanusiaan." Ia juga mengaku sudah tiga kali mencoba mendatangi rumah Try Sutrisno, tetapi ditolak oleh penjaganya.
Pemberitaan ini melanggar Kode Etik Jurnalistik. Pertama, karena wartawan tidak memperhatikan kredibilitas narasumbernya. Walaupun mendengar sendiri pengakuan tersebut, ia tidak memperhatikan siapakah yang menceritakan kisahnya. Biasanya sudah lumrah bahwa para pramuria bercerita tentang kehebatan para "kliennya" untuk menunjukkan daya tarik mereka. Soal kebenarannya, tentu saja lain perkara. Semua keterangan seperti ini pada awalnya tentulah harus diragukan. Di sinilah wartawan tersebut tidak meneliti kembali kebenaran berita yang akan disiarkannya.
Dalam kasus seperti ini seharusnya wartawan atau pers wajib lebih dahulu meragukan atau skeptis terhadap informasi semacam itu, sampai dapat dibuktikan kebenarannya sebelum boleh disiarkan. Tanpa fakta yang benar, berita seperti itu belum layak disiarkan.
Dari segi hukum, Try Sutrisno berkeberatan untuk melakukan kompromi. Ia mengadukan sang wartawan ke penegak hukum, dan memang oleh pengadilan wartawan tersebut akhirnya dihukum penjara enam bulan.
Berita ini tidak main-main. Judulnya: "Dua Jenderal Berebut Seorang Janda." Adapun yang dimaksud dengan dua jenderal pun tidak tanggung-tanggung, yaitu dua tokoh militer Indonesia: Try Sutrisno, mantan panglima TNI dan juga mantan wakil presiden, serta Edy Sudrajat yang juga mantan panglima TNI. Tetapi, berita ini merupakan contoh bagaimana pers sering kurang memperhatikan kredibilitas narasumber.
Kisahnya bermula dari seorang wartawan di satu harian ibu kota. Suatu hari sang wartawan berjumpa dengan Nani, seorang pramuria di Bar King di Jakarta. Berceritalah Nani dengan bangganya bahwa ia diperebutkan oleh dua jenderal sekaligus, masing-masing Try Sutrisno dan Edy Sudrajat. Berita ini semula sempat diturunkan di harian tempat wartawan itu bekerja. Tetapi, karena pertimbangan jurnalistik, terbitan pers itu menolak menyiarkannya.
Sesudah masa Reformasi, sang wartawan menjadi pemimpin redaksi dan sekaligus pemimpin umum satu tabloid. Ia merasa bahwa kisah ini akurat karena didengarnya langsung dari mulut seorang pramuria. Ia mengaku "ingin membela orang tertindas dan demi kemanusiaan." Ia juga mengaku sudah tiga kali mencoba mendatangi rumah Try Sutrisno, tetapi ditolak oleh penjaganya.
Pemberitaan ini melanggar Kode Etik Jurnalistik. Pertama, karena wartawan tidak memperhatikan kredibilitas narasumbernya. Walaupun mendengar sendiri pengakuan tersebut, ia tidak memperhatikan siapakah yang menceritakan kisahnya. Biasanya sudah lumrah bahwa para pramuria bercerita tentang kehebatan para "kliennya" untuk menunjukkan daya tarik mereka. Soal kebenarannya, tentu saja lain perkara. Semua keterangan seperti ini pada awalnya tentulah harus diragukan. Di sinilah wartawan tersebut tidak meneliti kembali kebenaran berita yang akan disiarkannya.
Dalam kasus seperti ini seharusnya wartawan atau pers wajib lebih dahulu meragukan atau skeptis terhadap informasi semacam itu, sampai dapat dibuktikan kebenarannya sebelum boleh disiarkan. Tanpa fakta yang benar, berita seperti itu belum layak disiarkan.
Dari segi hukum, Try Sutrisno berkeberatan untuk melakukan kompromi. Ia mengadukan sang wartawan ke penegak hukum, dan memang oleh pengadilan wartawan tersebut akhirnya dihukum penjara enam bulan.
Kasus kesepuluh
Identitas dan Foto Korban Susila
Anak-Anak Dimuat
Sesuai dengan asas moralitas, menurut Kode Etik Jurnalistik, masa depan anak-anak harus dilindungi. Oleh karena itu, jika ada anak di bawah umur, baik sebagai pelaku maupun korban kejahatan kesusilaan, identitasnya harus dilindungi.
Masih di Medan, satu harian lainnya menemukan adanya pencabulan atau pelecehan seksual oleh seorang pejabat setempat terhadap seorang anak di bawah umur. Koran ini sampai tiga kali berturut-turut menurunkan berita tersebut. Di judul berita pun nama korban susila di bawah umur itu disebut dengan jelas. Tidak hanya itu. Selain memuat identitas berupa nama korban, foto korban pun terpampang dengan jelas dan menonjol karena ingin membuktikan bahwa kejadian itu memang benar.
Pemuatan nama dan pemasangan foto korban susila di bawah umur inilah yang melanggar Kode Etik Jurnalistik. Berdasarkan UU Penyiaran No. 32 Tahun Pasal 36 yang berisi
Sesuai dengan asas moralitas, menurut Kode Etik Jurnalistik, masa depan anak-anak harus dilindungi. Oleh karena itu, jika ada anak di bawah umur, baik sebagai pelaku maupun korban kejahatan kesusilaan, identitasnya harus dilindungi.
Masih di Medan, satu harian lainnya menemukan adanya pencabulan atau pelecehan seksual oleh seorang pejabat setempat terhadap seorang anak di bawah umur. Koran ini sampai tiga kali berturut-turut menurunkan berita tersebut. Di judul berita pun nama korban susila di bawah umur itu disebut dengan jelas. Tidak hanya itu. Selain memuat identitas berupa nama korban, foto korban pun terpampang dengan jelas dan menonjol karena ingin membuktikan bahwa kejadian itu memang benar.
Pemuatan nama dan pemasangan foto korban susila di bawah umur inilah yang melanggar Kode Etik Jurnalistik. Berdasarkan UU Penyiaran No. 32 Tahun Pasal 36 yang berisi
Isi siaran wajib memberikan perlindungan
dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan
menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib
mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran
dengan Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
"Hi!..
BalasHapusGreetings everyone, my name Angel of Jakarta. during my
visiting this website, I found a lot of useful articles, which indeed I was looking earlier. Thanks admin, and everything."
Ejurnalism